
"Parah itu, murid berani sama gurunya. Di sini juga ada yang berani sama guru, tapi kalau sampai tindakan fisik, nggak ada."
Celoteh sejumlah murid SMAN 1 Jakarta itu mengemuka ketika menanggapi kasus dugaan pemukulan seorang murid terhadap gurunya hingga meninggal dunia di Sampang, Madura.
Saya mendatangi sekolah ini karena belasan tahun lalu, sekolah yang terletak di Jalan Budi Utomo, Jakarta Pusat, tersebut dikenal rawan tawuran. 'Boedoet' adalah julukannya.
Apakah kekerasan fisik dibolehkan atas nama pendidikan?Guru menganiaya siswa: cukup selesai dengan 'jalan damai'?Empat tersangka ditangkap terkait meninggalnya siswa dalam 'aksi gladiator'Namun, beberapa tahun belakangan predikat 'jago tawuran' tak lagi melekat. Salah satu kuncinya, kata Kepala Sekolah SMAN 1 Jakarta, Masayu Yuliana, adalah komunikasi antara pihak sekolah dan orang tua untuk membahas perilaku siswa.
Polah siswa yang 'meledak', menurutnya, tidak terjadi tiba-tiba.
"Dari hal-hal kecil itu sudah harus tanggap. Mulai dari pakaian, rambut, tampilan anak, itu sudah mulai. Sebagai orang tua, guru, kepala sekolah harus bisa membaca perubahan apa yang terjadi pada anak. Tidak di akhir, final, kita vonis si anak begini-begini," paparnya.
Perlakuan terhadap siswa juga harus diubah. Tidak jamannya lagi memperlakukan siswa dengan kekerasan, kata Sumarjiyanto, kepala seksi pendidikan menengah, Suku Dinas Pendidikan Wilayah 1 Jakarta Pusat.
"Pola-pola yang kita lakukan kepada anak-anak, lebih ke pendekatan individual. Kita sentuh hatinya, kita ajak berpikir secara logis, bahwasannya generasi now tidak jamannya mengunggulkan kekerasan," ujarnya.
Hak atas foto ROMEO GACAD/AFP/GETTY IMAGES Image caption Psikolog anak, Seto Mulyadi, mengusulkan agar para guru di Indonesia diberi pelatihan mengenai psikologi anak dan cara menangani anak. Gambar merupakan ilustrasi.'Mendisiplinkan karena sayang'Pendekatan berbeda diterapkan SMK Negeri 1 Jakarta yang belasan tahun lalu sering terlibat tawuran. Kepala sekolahnya, Ramedi, menegaskan akan menindak siswa yang membangkang.
"Dalam proses pendidikan ada beberapa hal yang memang harus kita lakukan. Ya katakanlah, mencubit, menjewer, atau memberikan punishment-punishment yang sifatnya semuanya itu mendidik dan bertujuan mendidik. Karena kita sayang sama anak didik kita," papar Ramedi.
Yang terjadi di Madura, menurutnya, adalah akibat pembiaran guru terhadap tingkah siswa.
"Guru sekarang melakukan pembiaran-pembiaran dan berpikir berulang kali jika ingin menindak. Karena apa? Mereka takut dicap atau dituduh sebagai orang yang melanggar hak asasi manusia."
Hak atas foto Getty Images Image caption Seto Mulyadi menilai pribadi anak bisa rusak akibat dipupuk oleh praktik kekerasan selama bertahun-tahun.Selain menindak siswa, Ramedi juga tak bakal segan mengeluarkan siswa yang terbukti ikut tawuran. Dia juga memantau sejumlah murid yang 'bermasalah', baik di sekolah maupun di media sosial.
Pengategorian 'murid bermasalah' diberikan melalui laporan wali kelas, prestasi akademik siswa, dan pengamatan guru Bimbingan Pribadi.
Sistem poin pun diberlakukan. Ketika tahun ajaran baru dimulai, setiap siswa diberi modal 100. Setiap pelanggaran, baik seragam tidak rapih hingga merokok, pengurangan nilai akan diberikan dari modal 100.
Ketika jumlah pelanggaran mencapai 100, siswa akan dikeluarkan. Khusus untuk tawuran, siswa langsung dikeluarkan tanpa negosiasi.
"Itu efektif banget. Kalau kita dikeluarkan karena tawuran dan segala macam, pasti nggak ada sekolah lain yang mau menerima. Dari situ, murid-murid takut," kata Fiska, murid SMK N 1 Jakarta.
Hak atas foto AFP/Getty Images Image caption Menindak siswa untuk menekan intensitas tawuran memang efektif, tapi itu tak mengubah pribadi anak, kata psikolog. Gambar merupakan ilustrasi.Fenomena gunung esAncaman akan dikeluarkan dan hukuman dengan kekerasan memang efektif membuat siswa takut sehingga intensitas tawuran jauh berkurang. Namun, psikolog anak, Seto Mulyadi, menilai pribadi sang anak telah dirusak akibat dipupuk oleh praktik kekerasan selama bertahun-tahun.
Menurutnya, imbas hukuman kekerasan dari orang tua dan guru akan "bertumpuk terus".
"Kasus ini (di Sampang, Madura) adalah fenomena gunung es. Berapa banyak yang mirip seperti itu? Yang berani melawan guru, yang berani memukul guru. Karena anak meniru apa yang diajarkan selama ini kepada mereka," ujarnya.
Ditanya tentang alasan guru bahwa kekerasan terhadap murid dilakukan untuk mendisiplinkan mereka dan atas dasar cinta kasih, nada bicara Seto Mulyadi seketika tinggi.
"Itu nggak benar! Apapun tujuannya, kalau caranya salah, tetap salah!"
Agar guru bisa memahami psikologi anak dan cara mendidik anak tanpa kekerasan, Seto Mulyadi mengusulkan pelatihan khusus kepada guru-guru di seantero Indonesia.
"Kementerian Pendidikan harus memberikan paket-paket pelatihan kepada guru. Guru yang kreatif, guru yang profesional, guru yang ramah anak," cetusnya.
Hak atas foto AFP/Getty Images Image caption Kasus dugaan pemukulan yang dilakukan seorang murid terhadap gurunya sehingga yang bersangkutan meninggal dunia di Sampang, Madura, menambah panjang daftar insiden kekerasan di sekolah. Gambar merupakan ilustrasi.Gagasan bahwa guru harus mendapat pelatihan mengenai psikologi anak dan cara menangani anak-anak mendapat sambutan Retno Listyarti dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
Perempuan yang pernah menjabat Kepala Sekolah SMAN 3 Jakarta itu mengaku bahwa guru-guru di Indonesia "tidak pernah dibekali bagaimana menghadapi anak-anak yang memiliki kekhususan".
"Skill semacam ini ya harus dilatih. Guru-guru ini gagap menangani kekerasan. Banyak terjadi kekeliruan menangani anak-anak," ujarnya.
Kasus dugaan pemukulan yang dilakukan seorang murid terhadap gurunya sehingga yang bersangkutan meninggal dunia di Sampang, Madura, menambah panjang daftar insiden kekerasan di sekolah.
Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan bahwa sepanjang 2017 terdapat 358 kasus di sekolah yang meliputi beragam kekerasan, dari fisik, psikis, hingga seksual.